TABARRUKAN

SHOHBAH

Shohbah merupakan elemen laku kesufian terpenting penting dalam suluk thoriqoh. Shohbah itu bukan sekedar frekuensi kebersamaan fisik murid dengan Syeikh Mursyid tapi terjalinnya relasi persahabatan seperti Kanjeng Nabi Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dengan para Sahabatnya (الشيخ فى قومه كا النبي فى امته).

Demikian harus terpenuhi syarat sebuah persahabatan. Hadrotus Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Qs menegaskan, Syarat persahabatan itu tidak ada perdebatan di sepanjang kebersamaan. Ikut, sabar, dan tidak bertanya apalagi mempertanyakan : شرط الصخبة ترك المخالفة. untuk mendapat ilustrasi Shohbah, beliau sering merujuk kepada kisah Nabi Musa AS yang diperintahkan Alloh untuk mencari dan berguru kepada Nabi Khidir AS yang tertuang di dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 60 – 82.

Ketika akhirnya dipertemukan, Nabiyulloh Khidir diawal sudah menyampaikan syarat, tidak boleh bertanya, apalagi mempertanyakan. Sejak awal bahkan Nabi Khidir AS sudah membaca bahwa Nabi Musa tidak akan kuat, tidak akan bersabar menjalani kebersamaan dan ternyata benar. Peristiwa yang slalu menjadi rujukan kaum Sufi-thoriqoh sekaligus ilustrasi tentang apa makna, peran, dan model pendidikan yang dilakukan Mursyid kepada murid-muridnya serta bagaimana sikap jiwa murid saat berguru kepada Guru Mursyid.

Dari kisahkan yang tertuang dalam Surat dan ayat-ayat tersebut, dapat diperoleh gambaran sebagai ikhtiar kontekstualisasi Al Qur’an, bahwa:

ALLOH di setiap masa selalu menunjuk hamba yang dikehendaki-NYA sebagai sosok transformasi Nabi Khidir AS untuk memiliki dan mengajarkan pengetahuan/informasi tentang rencana serta iradah-NYA terhadap suatu peristiwa Ilmu Laduni sebagai materi pendidikan untuk perbaikan kualitas hidup manusia di setiap masa. Tampil menjadi Guru yang mengurus dan membimbing ruh manusia-manusia.

Alloh memberikan perintah kepada Musa-musa zaman now, konteks masa itu diwakili oleh Nabi Musa AS, untuk mencari, menemukan, dan meluangkan waktu untuk belajar ilmu-ilmu ALLOH kepada hamba-hampa pilihan-NYA yang ada di setiap masa. Yaitu, ilmu-ilmu

yang tidak dianugerahkan kepada orang sekelas Nabi Musa AS sekalipun.

Ketika bertemu dengan sosok tajalli Nabi Khidir AS maka siapapun mesti mengikuti prosedur peraturan dalam proses pembelajaran ilmu-ilmu Alloh darinya. Yaitu, ikut, sabar dan tidak bertanya. Mumpung tidak mengerti, ikut saja! Karena segala ucapan dan perbuatan Guru Ma’rifat ini pasti mengandung hikmah dan pelajaran, sekaligus, merupakan petunjuk serta telah mendapat guidance dari ALLOH ‘azza wajalla. Itulah sikap jiwa yang mesti dimiliki seseorang ketika ketemu dan berguru kepada Guru Mursyidnya.

Kesediaan jiwa seorang murid untuk ikut Amaliyah [ فناء فى الافعال الشيخ] dan bershohbah bersama Mursyidnya maka keadaan demikian akan menariknya ke atas, naik ke jenjang fana dalam sifat-sifat Syeikhnya [ فناء فى الصفات او فى الاحوال الشيخ]. Yaitu, ketika amaliyah yang diamalkannya secara istiqomah berbuah muamalah yang berkualitas. Amaliyah adalah ikhtiar ruhani membangun relasi vertikal dengan Khooliq [حبل من الله]. Sementara muamalah adalah ikhtiar membangun relasi horizontal dengan sesama makhluq-nya [حبل من الناس]. Rumus ilahiyah-nya ialah siapa yang relasi vertikalnya baik maka akan baik dan memperbaiki relasi horizontalnya.

Dengan ungkapan lain, barangsiapa berkualitas dalam amal ritual kesufiannya maka akan berkualitas amal aktual kehidupan sosialnya. Berkualitas amaliyahnya maka berkualitas akhlaq kesehariannya. Bahkan puncak yang dituju dari amal kesufian itu adalah akhlaqul karimah [اخلاق الكريمة]. Dalam bahasa TANBIH Syeikh Abdulloh Muabarok bin Nur Muhammad, tujuan tertinggi ajaran yang jadi amalan kesucian jiwa ialah BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA (Cageur Bageur) –dalam bahasa Jawa: waras-bergas.